Sabtu, 16 Februari 2013

Jika Pesantren Salaf Musnah

Akhir-akhir ini banyak tokoh nasionalis, organisasi, golongan dan pemikiran menjadi pihak tergugat bahkan terdakwa sebagai pihak yang “menyesatkanâ€‌ dan membingungkan ummat karena statusnya bukan sebagai kaum santri atau tidak pernah belajar mengaji di Pesantren, ilmu dan pegetahuan agamanya terbatas. Sehingga segala pemikiran dan apa yang dilakukannya semuanya dianggap tidak berarti dan ‘menyimpang’‌ dan tidak perlu mendapat perhatian. Bahkan sikap ini telah melahirkan dikotomi antara kaum Pesantren/Santri dengan yang bukan santri atau kaum nasionalis. Apapun kelebihan dan kehebetan mereka dalam bidang dakwah akan dianggapnya sebagai kaum karbitan yang pas-pasan ilmunya.

Pesantren tradisional (salaf) memang telah terbukti dalam sejarah perjuangan kemerdekaan, keilmuan dan keagamaan sebagai lembaga tertua di Indonesia yang telah mampu dan berhasil membuktikan diri sebagai pusat pengkaderan ulama, pemimpin yang tangguh dan sebagai benteng aqidah ummat. Bahkan hampir semua Pesantren dan Kiyainya dalam sejarah pra Islam dan kemerdekaan Indonesia terlibat dalam merebut dan mengisi kemerdekaan. Bahkan tidak sedikit santri-santri Pesantren tempo dulu menjadi tokoh nasional yang terkemuka dan disegani karena perannya sebagai pahlawan, ilmuan dan pemimpin ummat yang ikhlas. Tapi semua kebesaran Pesantren salaf itu kini telah pudar, maka seharusnya kita tidak lagi harus ‘menghakimi’‌ orang lain sebagai Kiyai Kalender. Karena Kiyai karbitan dan Kiyai kalender itu sesungguhnya kini lahir dari Pesantren masa kini (baca: Pesantren dulu, sekarang dan nanti).

Pasca kemerdekaan Pesantren tradisional masih tetap mampu membuktikian peran dan posisinya sebagai lembaga keagamaan yang behasil mencetak tokoh-tokoh kaliber dunia sebut saja Syekh Rifai Kalisalak dengan Pesantrennya di Kalisalak, Syekh Soleh Darat dengan Pesantrennya di Darat Semarang keduanya telah mampu melahirkan ulama besar Jawa abad XVIII dan XIX seperti Kiyai Kholil Bangkalan, Kiyai Hasyim Asyari dengan ribuan santrinya yang allamah pula. Begitu juga Syekh Nuruddin Al Raniri di Aceh, Yusuf Al Makasari, Burhanuddin Ulakan dan lainnya dari ulama Aceh dan Sumatra juga Palembang semuanya telah mampu mencetak santrinya menjadi ulama besar yang hingga kini kita rasakan barokah ilmunya.

Dari jumlah Pesantren yang awalnya sangat terbatas jumlahnya maka setelah runtuhnya kekuatan Belanda yang sejak awal melarang pendirian dan pengembangan pendidikan keagamaan, jumlah Pesantren, ulama dan santri terus berkembang dengan tetap mempertahankan tradisi dan metode tradisionalnya sehingga keberhasilannya dalam mencetak ulama dan Kiayi yang allamah juga tetap dipertahankan. Hal seperti ini terus beralanjut hingga awal abad XX Masehi.

Keberhasilana kaum sarungan itu ternyata mampu mengundang kekhawatiran kaum nasionalis akan kejayaan dan kekuatan yang dimilikinya dalam merebut kemerdekaan, dan mengisi pembangunan Indonesia kedepan. Kekhawatiran itu sangat beralasan mengingat Pesantren sebagai model pendidikan tertua dan pertama di Indonesia dan diakui masyarakat keberhasilan peran alumninya, maka pantas kalau kemudian legitimasi itu harus dihilangkan. Karena dengan legitimasi itu kaum tradisionalis akan mudah untuk mendapat kepercayaan masyarakat untuk memimpin bangsa dan negara sehingga kesempatan kaum nasionalis untuk maju menjadi pemimpin akan tertutup. Kemungkinan kedua pengganjalan itu juga terjadi akibat keyakinan mereka bahwa hanya kaum nasionalislah yang paling berjasa merebut dan mengisi kemerdekaan sehingga hanya mereka yang memenuhi syarat dan berhak menjadi pemimpin dan pejabat negara dengan ijazah negerinya?

Dari kekhawatiran dan kesalahpahaman itu lahirlah ‘pertarungan’‌ antara kaum tradisonalis dan nasionalis yang berlanjut kepada pengganjalan dan perebutan hak dan kesempatan kerja dalam pemerintahan. Jelas tindakan seperti itu telah memojokan dan merugikan kaum tradisonalis yang bekerja dan belajar dengan ikhlas tanpa tujuan duniawi seperti jabatan, pencarian gelar dan Ijazah. Namun ketulusan usaha mereka itu justru membuka jalan lain yang bisa mengangkat kedudukan kaum tradionalis yang lebih tinggi dari jabatan dan kedudukan kaum nasionalis dihadapan rakyat yaitu sebagai Kiyai, ulama atau ustadz yang dikagumi dan disegani masyarakat. Dan posisi ini juga tidak bisa terbantahkan oleh jabatan dan kedudukan pemerintahan mereka. Keadaan ini juga telah melahirkan ketakutan baru kaum nasionalis dengan diperketatnya kegiatan keagamaan kuam sarungan.

Memang sepanjang sejarah pendidikan Indonesia terus dikuasi dan dikendalikan kaum nasionalis dengan kendaraannya yang tangguh dan selalu berganti-ganti merek mulai dari P dan K sampai Diknas dengan segala kekuatannya mereka berusaha memarjinalkan pendidikan tradisional (Pesantren salaf dan Madrasah) dalam sejarah pendidikan Indonesia. Dan puncaknya adalah lahirnya keputusan pemerintah tidak diakuinya Ijazah Pesantren dan Madrasah Diniyah dalam sistim pemerintahan.

Kenyataan itu ternyata membuat kaum tradisionalis tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengamininya. Padahal sesunnguhnya itu semua adalah kiat politik orde baru dalam mengkebiri pendidikan agama Islam yang menjadi hak setiap warga negara dan membendung peran dan kesempatan agamawan dari kelompok tradisonlais dalam pemerintahan. Hal itu tampak mencolok sekali kalau kita kembali kepada sejarah pemerintahan orde baru yang memperketat peran ulama dalam berdakwah dan mengajar santrinya. Kenyataan itu ternyata secara tidak disengaja dapat melegitimasi pemerintahan dan sistimnya yang salah.

Sehingga secara tidak sadar keadaan seperti itu menuntut banyak Kiyai dan Pesantren untuk berpikir kedepan bagi para santrinya agar setelah lulus belajar mereka bisa menjadi pegawai negeri sipil seperti yang lainnya. Dari sinilah (tepatnya sejak tahun 80-an) terjadi revolusi besar-besaran di dalam pendidikan tradisonal yaitu banyaknya pesantren salaf merubah diri menjadi Pesantren (moderen dan sejenisnya) yang mengikuti tuntutan pemerintah demi selembar Ijazah (negeri)?

Kini dalam perkembangan terakhirnya justru banyak Pesantren yang telah merubah diri dari salaf menjadi (modern) justru ‘gagal’‌ meneruskan cita-cita pendirinya dan memenuhi harapan masyarakat sebagai lembaga pendidikan yang mampu mencetak santrinya sebagai ulama, Kiyai dan ustadz yang allamah dan mumpuni dalam kitab kuning dan ilmu agama. Akibat itu semua kini masyarakat melihat bahwa banyak Pesantren tidak ubahnya sebagai pendidikan formal biasa pada umumnya karena tidak lagi mampu mempertahankan peran dan posisi awalnya.

Maka kalau demikian faktanya apakah memenuhi kebutuhan santri untuk mendapatkan ijazah negeri agar menjadi pegawai negeri sipil itu lebih penting daripada memepertahankan kesalafan Pesantren yang eksis mengkader dan mencetak santri yang Allamah dan berahlakul karimah? Dan apakah kita akan rela wadah para ulama (NU) yang menjadi harapan masyrakat Indonesia nantinya dan sekarang sudah banyak dipegang oleh orang-orang yang tidak bisa dan kenal dengan kitab kuning yang menjadi magnet masyarakat? Dan ketika Pesantren salaf tidak lagi ada apakah Pesantren modern akan mampu menggantikan perannya? Dan yang pasti kini banyak Pesantren berpikir yang penting banyak santrinya daripada berpikir bagaimana santrinya.

Rayuan Orang-Orang Arif

Wahai Kau yang menguasai hari-hari
Kepada-Mu kuhadapkan wajahku, tidak kepada yang lain
Engkaulah yang mengabulkan setiap pinta dan harapan.

Wahai penguasaku, wahai penyembuh jiwa, wahai sandaran hidupku,
Wahai Raja Diraja, Engkau memberikan kekuasaan dan kekuatan
Kepada siapa saja yang memohon kepada-Mu, tanpa batas, tanpa hitungan.

Bagiku, tak ada sandaran kecuali kepada-Mu.
Tak ada pintu yang pantas kuketuk selain pintu-Mu.

Tuhanku, hapuskanlah segala kesalahan dan keburukanku.
Lihatlah, betapa banyak kudapatkan nikmat-Mu,
Namun kusia-siakan semuanya.

Wahai yang maha mengabulkan doa, luruskanlah ketika aku
salah langkah dan salah jalan
Aku memohon kepada-Mu hapuskanlah dosa-dosaku.
Sungguh semua dosa membebani langkahku,
Selaksa alpa menodai jiwaku.

Kini aku datang di sini, mengetuk pintu-Mu
Maka sambutlah tanganku.

Duhai kekasih hati, Engkaulah sang kekasih.
Engkaulah ujung kerinduanku, tempat bermanja.

Engkau sungguh maha dekat, tak berjarak dariku.
Wahai penyembuh. mengingat-Mu adalah obat bagi segala penyakit.

Sungguh Engkau maha menyembuhkan nestapa dan derita.
Engkau matahari penyingkap tirai kegelapan bagi para
pecintamu.
Engkau bersinar selamanya, tiada akan pernah padam.
Jika matahari kami terbenam di ujung hari.

Matahari hati tiada akan pernah menepi.
Matahari hati tak akan pernah hilang dan tenggelam.
Ketika kegelapan turun meliputi seluruh isi bumi.
Para pemilik hati kembali ke dekapan Kekasih sejati.

Sabtu, 02 Februari 2013

Adab dan Doa Aqiqah

Setiap orang tua tentu mendambakan putera dan puteri yang shaleh dan shalehah, berbakti dan mengalirkan kebahagiaan kepada kedua orangnya. Aqiqah adalah salah satu acara
penting untuk menanamkan nilai-nilai ruhaniah kepada anak yang masih suci. Dengan Aqiqah diharapkan sang banyi memperoleh kekuatan, kesehatan lahir dan batin. Lahir dan batinnya tumbuh dan berkembang ldengan nilai-nilai Ilahiyah. Dengan Aqiqah juga diharapkan sang
bayi kelak menjadi anak yang shaleh dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Jika acara ini dilaksanakan dengan tulus-ikhlash dan dijiwai nilai-nilai ruhaninya oleh kedua orang tuanya, tentu akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa dan ruhani sang bayi.
Aqiqah adalah salah satu acara ritual di dalam Islam, yang dilaksanakan pada hari ketujuh dari kelahiran seorang bayi. Aqiqah hukumnya sunnah muakkad (mendekati wajib), bahkan sebagian ulama menyatakan wajib.
Adab-adab Aqiqah yang terpenting adalah:
• Paling utama aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh dari kelahiran sang bayi.
• Memberi nama, mencukur rambut kemudian ditimbang dengan emas atau perak sesuai dengan kemampuan orang tuanya, kemudian disedekahkan.
• Memotong kambing, disunnahkan kambing jantan untuk laki-laki, dan betina untuk perempuan. Sebagian ulama mengatakan: yang paling utama adalah kambing jantan untuk laki-laki juga perempuan.
• Dianjurkan kedua orang tuanya tidak memakan daging aqiqah anaknya, termasuk keluarga dari kedua orang tuanya. Khusus bagi ibunya hukumnya makruh syadid (mendekati haram) makan daging aqiqah anaknya.
• Kaki dan paha binatang aqiqah diberikan kepada orang-orang yang membantu dalam melahirkan sang bayi.
• Tulang-tulang binatang aqiqah disunnahkan dibungkus dengan kain putih kemudian dikubur.
• Yang utama undangan pada acara aqiqahan: ulama dan orang-orang yang fakir.
• Membaca doa berikut ini ketika menyembelih binatang aqiqah:

بِسْمِ اللهِ وَبِاللهِ، اَللَّهُمَّ عَقِيْقَةٌ عَنْ فُلاَنِ بْنِ فُلاَن لَحْمُهَا بِلَحْمِهِ وَعَظْمُهَا بِعَظْمِهِ، اَللَّهُمَّ اجْعَلْهَا وِقَآءً لآلِ مُحَمَّدٍ عَلَيْهِ وَآلِهِ السَّلاَمُ

Bismillâhi wa billâhi, Allâhumma `aqîqatun `an fulan bin fulan, lahmuhâ bilahmihi wa `azhmuhâ bi`azhmihi. Allâhummaj`alhâ wiqâan liâli Muhammadin `alayhi wa âlihis salâm.
Dengan nama Allah dan dengan Allah, aqiqah ini dari fulan bin fulan, dagingnya dengan dagingnya, tulangnya dengan tulangnya. Ya Allah, jadikan aqiqah ini sebagai tanda kesetiaan kepada keluarga Muhammad saw.
Atau membaca doa berikut ini:

يَا قَوْمِي اِنِّي بَرِيْءٌ مِمَّا تُشْرِكُوْنَ. اِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا اَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ. اِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. لاَشَرِيْكَ لَهُ وَبِذَالِكَ اُمِرْتُ وَاَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ. اَللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ بِسْمِ اللهِ وَبِاللهِ وَاللهُ اَكْبَرُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَتَقَبَّلْ مِنْ فُلاَنِ بْنِ فُلاَن

Yâ qawmî innî barîum mimmâ tusyrikun. Innî wajjahtu wajhiya lilladzî fatharas samâwâti wal ardha hanîfan musliman wa mâ ana minal musyrikin. inna shalâtî wa nusukî wa mahyâya wa mamâtî lillâhi Rabbil `alamîn. La syarîka lahu wa bidzâlika umirtu wa ana minal muslimîn.
Allâhumma minka wa laka bismillâhi wa billâhi wallâhu akbar. Allâhumma shalli `alâ Muhammadin wa âli Muhammad wa taqabbal min fulan bin fulan.
Wahai kaumku, aku berlepas diri dari apa yang kamu sekutukan. Aku hadapkan wajahku kepada Zat yang menciptakan langit dan bumi karena cenderung kepada kebenaran dan berserah diri kepada-Nya dan aku tidak termasuk kepada orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya shalatku dan ibadahku, hidupku dan matiku hanya karena Allah Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya dan dengan itu aku diperintahkan dan aku termasuk orang-orang yang muslim. Ya Allah, dari-Mu, karena-Mu, dengan nama-Mu dan dengan-Mu, Allah Maha Besar. Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, terimalah (aqiqah ini) dari fulan bin fulan.
(Mafatihul Jinan, bab 6, halaman 493-501)

Adab dan Doa sebelum Tidur

Sebagai pengantar mari kita simak komentar seorang irfan (sufi besar) yaitu Allamah Syeikh Jawad Al-Maliki At-Tabrizi berpesan agar kita selalu memperhatikan adab tidur, supaya Allah Yang Maha Dermawan memberi karunia kepada kita dalam tidur kita, yaitu karunia yang agung sebagaimana yang telah dikaruniakan kepada para nabi, para wali dan orang-orang mukmin dalam tidur mereka.
Selain itu agar kita tahu bahwa Allah swt menganugrahkan pengenalan diri kepada sebagian mereka dalam tidur mereka, sehingga seolah-olah ia melihat dirinya berada di alam yang tinggi dan hakikat dirinya bercahaya, dan seolah-olah dirinya menyatu dengan hakikat malaikat maut. Berkat keagungan kondisi ruhani ini ketika terbangun seolah-olah ia melihat malaikat itu merapatkan tubuhnya padanya. Kemudian ia bertanya-tanya, mengapa ini terjadi… sampai keadaan itu menghilang darinya.
Wahai saudara-saudaraku, betapa banyak makrifat yang diungkapkan pada seorang Salik (penempuh perjalanan ruhani) dalam mimpinya; dan betapa banyak Maqamat (stasiun-stasiun perjalanan ruhani) yang dikaruniakan kepadanya melalui mimpi-mimpinya yaitu bertemu dengan para Nabi (as ), para Imam (sa) dan para ulama besar (ra).
Ada suatu hadis yang menjelaskan tentang maksud firman Allah swt:

وَلَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي اْلأَخِرَةِ

“Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan kehidupan di akhirat.” (Yunus: 64). Menurut hadis tersebut bahwa yang maksud dengan kata “Al-Busyra fil hayatid dun-ya” (berita gembira dalam kehidupan di dunia) adalah mimpi yang baik yang dirasakan oleh seorang mukmin, atau pengalaman ruhani yang diperlihatkan dalam mimpinya.
Allamah Syeikh Jawad Al-Maliki At-Tabrizi banyak mencapai keinginannya melalui tidurnya. Yaitu, ketika beliau mimpi bertemu dengan Ma’shumin (orang-orang suci), dan mereka mengilhaminya karunia-karunia yang agung dalam tidurnya, ia merasakan kelezatan dan kebahagiaan ruhani pada saat bangun dari tidurnya akibat dari kelezatan ruhani yang ia rasakan dalam mimpinya. Sehingga, setiap menjelang tidur ia penuh harapan dan keinginan untuk memperoleh mimpi seperti itu.
Ada salah seorang bertanya kepadanya: Bukankah kesenangan itu hanya dalam mimpi? Ia menjawab: Aku menyukai yang demikian. Lalu ia melanjutkan jawabannya dalam bentuk syair berbahasa Persia, yang artinya:
Aku, aku berzikir kepada-Mu dalam kesunyian
ingin melihat keindahan-Mu dalam tidurku
Sehingga ketika aku bangun dari tidurku
Engkaulah yang pertama datang ke dalam kalbuku

(Adab Tidur oleh Allamah At-Tabrizi)
Adab-Adab Tidur
Di antara adab tidur adalah menghadapkan wajah kita ke kiblat dan hati kepada Allah swt, menyebut nama-nama Allah, melakukan amalan-amalan menjelang tidur sesuai dengan kemampuan, menyerahkan jiwanya kepada Allah Yang Maha Agung, dan mengamalkan amalan-amalan yang terpenting menjelang tidur, yaitu:
• Mbaca Bismillahir Rahmanir Rahim dalam hati dan lisan.
• Membaca Surat Al-Kahfi 110, sambil merenungi kandungan maknanya, yaitu:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ اِنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَ لاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدَا

Qul innamâ ana basyarun mitslukum yûhâ ilayya, innamâ Ilâhukum Ilâhun wâhid, faman kâna yarjû liqâa Rabbihi falya’mal ‘amalan shâlihan walâ yusyrik bi’ibâdati Rabbihi ahadâ.
Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: ‘Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa.” Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaknya ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Al-Kahfi: 110).
• Membaca surat Al-Baqarah 285, sambil merenungi kandungan makna, yaitu:

آمَنَ الرَّسولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَ الْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَ مَلاَئِكَتِهِ وَ كُتُبِهِ وَ رُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَك رَبَّنَا وَ إِلَيْك الْمَصِيْرُ

Amanar Rasûlu bimâ unzila ilayhi mir Rabbihi wal mu’minûna, kullun âmana billâhi wa malâikatihi wa kutubihi wa rusulihi, lâ nufarriqu bayna ahadin mir rusulihi, wa qâlû sami`nâ wa atha`na ghufrânaka Rabbanâ wa ilaykal mashîr.
Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian juga orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): Kami tidak membeda-bedakan antara seorangpun (dengan yang lain) dari rasu-rasul-Nya, dan mereka berkata: Kami dengar dan taat. (Mereka berdoa): Ampunilah kami ya Tuhan kami, dan Engkaulah tempat kembali. (Al-Baqarah: 285).
• Membaca Tasbih Az-Zahra’, yaitu: Allahu Akbar (34 kali), Alhamdulillah (33 kali), Subhanallah (33 kali).
• Membaca ayat Kursi (Al-Baqarah: 255)
• Membaca Surat Al-Ikhlash (21 kali atau 3 kali)
• Membaca (3 kali):

يَفْعَلُ اللهُ مَايَشَآءُ بِقُدْرَتِهِ وَيَحْكُمُ مَايُرِيْدُ بِعِزَّتِهِ

Yaf’alullâhu mâ yasyâu bi-qudratihi wa yahkumu mâ yurîdu bi-’izzatih.
Allah melakukan apa yang diinginkan dengan kekuasaan-Nya dan menetapkan apa yang dikehendaki dengan keperkasaan-Nya.
• Membaca surat Ali-Imran 18:

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ وَ الْمَلاَئِكَةُ وَ أُولُوا الْعِلْمِ قَائِمَا بِالْقِسْطِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكيمُ‏

Syahidallâhu annahû lâ ilâha illâ Huwa, wal malâikatu wa ûtul ‘ilmi, qâiman bil-qisthi, lâ ilâha illâ Huwal ‘azîzur rahîm.
Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan selain Dia Yang Menegakkan keadilan; para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan demikian). Tidak ada tuhan selain Dia Yang Maha Perkasa dan Bijaksana.(Ali-Imran: 18).
• Membaca istighfar
(Mafatihul Jinan, kunci-kunci surga, bab 1, halaman 126)
Amalan Fatimah Az-Zahra’ (sa) Menjelang tidur
Fatimah Az-Zahra’ puteri Nabi saw berkata: Pada suatu malam menjelang aku tidur Rasulullah saw datang kepadaku. Lalu beliau bersabda: “wahai Fatimah, janganlah kamu tidur sebelum kamu mengamalkan 4 hal: menamatkan Al-Qur’an, menjadikan para Nabi sebagai pemberi syafaat bagimu, menjadikan orang-orang mukmin ridha kepadamu, melakukan haji dan umrah.” Fatimah bertanya kepada Rasulullah saw: Ya Rasulallah, engkau perintahkan aku empat hal yang tak mampu aku lakukan, Rasulullah saw tersenyum dan bersabda: “Jika kamu membaca Surat Al-Ikhlash (3 kali), kamu seperti menamatkan Al-Qur’an; jika kamu bershalawat kepadaku dan para nabi, kami para nabi akan menjadi pemberi syafaat bagimu di hari kiamat; jika kamu memohonkan ampunan bagi orang-orang mukmin, mereka akan ridha padamu; jika kamu membaca Subhanallah walhamdulillah wala ilaha illallah wallahu akbar, kamu seperti melakukan haji dan umrah.” (Mafâtihul Jinân, kunci-kunci surga, hlm 488)
Diberdayakan oleh Blogger.