Akhir-akhir ini banyak tokoh nasionalis, organisasi, golongan dan
pemikiran menjadi pihak tergugat bahkan terdakwa sebagai pihak yang
“menyesatkan†dan membingungkan ummat karena statusnya bukan sebagai
kaum santri atau tidak pernah belajar mengaji di Pesantren, ilmu dan
pegetahuan agamanya terbatas. Sehingga segala pemikiran dan apa yang
dilakukannya semuanya dianggap tidak berarti dan ‘menyimpang’ dan tidak
perlu mendapat perhatian. Bahkan sikap ini telah melahirkan dikotomi
antara kaum Pesantren/Santri dengan yang bukan santri atau kaum
nasionalis. Apapun kelebihan dan kehebetan mereka dalam bidang dakwah
akan dianggapnya sebagai kaum karbitan yang pas-pasan ilmunya.
Pesantren tradisional (salaf) memang telah terbukti dalam sejarah perjuangan kemerdekaan, keilmuan dan keagamaan sebagai lembaga tertua di Indonesia yang telah mampu dan berhasil membuktikan diri sebagai pusat pengkaderan ulama, pemimpin yang tangguh dan sebagai benteng aqidah ummat. Bahkan hampir semua Pesantren dan Kiyainya dalam sejarah pra Islam dan kemerdekaan Indonesia terlibat dalam merebut dan mengisi kemerdekaan. Bahkan tidak sedikit santri-santri Pesantren tempo dulu menjadi tokoh nasional yang terkemuka dan disegani karena perannya sebagai pahlawan, ilmuan dan pemimpin ummat yang ikhlas. Tapi semua kebesaran Pesantren salaf itu kini telah pudar, maka seharusnya kita tidak lagi harus ‘menghakimi’ orang lain sebagai Kiyai Kalender. Karena Kiyai karbitan dan Kiyai kalender itu sesungguhnya kini lahir dari Pesantren masa kini (baca: Pesantren dulu, sekarang dan nanti).
Pasca kemerdekaan Pesantren tradisional masih tetap mampu membuktikian peran dan posisinya sebagai lembaga keagamaan yang behasil mencetak tokoh-tokoh kaliber dunia sebut saja Syekh Rifai Kalisalak dengan Pesantrennya di Kalisalak, Syekh Soleh Darat dengan Pesantrennya di Darat Semarang keduanya telah mampu melahirkan ulama besar Jawa abad XVIII dan XIX seperti Kiyai Kholil Bangkalan, Kiyai Hasyim Asyari dengan ribuan santrinya yang allamah pula. Begitu juga Syekh Nuruddin Al Raniri di Aceh, Yusuf Al Makasari, Burhanuddin Ulakan dan lainnya dari ulama Aceh dan Sumatra juga Palembang semuanya telah mampu mencetak santrinya menjadi ulama besar yang hingga kini kita rasakan barokah ilmunya.
Dari jumlah Pesantren yang awalnya sangat terbatas jumlahnya maka setelah runtuhnya kekuatan Belanda yang sejak awal melarang pendirian dan pengembangan pendidikan keagamaan, jumlah Pesantren, ulama dan santri terus berkembang dengan tetap mempertahankan tradisi dan metode tradisionalnya sehingga keberhasilannya dalam mencetak ulama dan Kiayi yang allamah juga tetap dipertahankan. Hal seperti ini terus beralanjut hingga awal abad XX Masehi.
Keberhasilana kaum sarungan itu ternyata mampu mengundang kekhawatiran kaum nasionalis akan kejayaan dan kekuatan yang dimilikinya dalam merebut kemerdekaan, dan mengisi pembangunan Indonesia kedepan. Kekhawatiran itu sangat beralasan mengingat Pesantren sebagai model pendidikan tertua dan pertama di Indonesia dan diakui masyarakat keberhasilan peran alumninya, maka pantas kalau kemudian legitimasi itu harus dihilangkan. Karena dengan legitimasi itu kaum tradisionalis akan mudah untuk mendapat kepercayaan masyarakat untuk memimpin bangsa dan negara sehingga kesempatan kaum nasionalis untuk maju menjadi pemimpin akan tertutup. Kemungkinan kedua pengganjalan itu juga terjadi akibat keyakinan mereka bahwa hanya kaum nasionalislah yang paling berjasa merebut dan mengisi kemerdekaan sehingga hanya mereka yang memenuhi syarat dan berhak menjadi pemimpin dan pejabat negara dengan ijazah negerinya?
Dari kekhawatiran dan kesalahpahaman itu lahirlah ‘pertarungan’ antara kaum tradisonalis dan nasionalis yang berlanjut kepada pengganjalan dan perebutan hak dan kesempatan kerja dalam pemerintahan. Jelas tindakan seperti itu telah memojokan dan merugikan kaum tradisonalis yang bekerja dan belajar dengan ikhlas tanpa tujuan duniawi seperti jabatan, pencarian gelar dan Ijazah. Namun ketulusan usaha mereka itu justru membuka jalan lain yang bisa mengangkat kedudukan kaum tradionalis yang lebih tinggi dari jabatan dan kedudukan kaum nasionalis dihadapan rakyat yaitu sebagai Kiyai, ulama atau ustadz yang dikagumi dan disegani masyarakat. Dan posisi ini juga tidak bisa terbantahkan oleh jabatan dan kedudukan pemerintahan mereka. Keadaan ini juga telah melahirkan ketakutan baru kaum nasionalis dengan diperketatnya kegiatan keagamaan kuam sarungan.
Memang sepanjang sejarah pendidikan Indonesia terus dikuasi dan dikendalikan kaum nasionalis dengan kendaraannya yang tangguh dan selalu berganti-ganti merek mulai dari P dan K sampai Diknas dengan segala kekuatannya mereka berusaha memarjinalkan pendidikan tradisional (Pesantren salaf dan Madrasah) dalam sejarah pendidikan Indonesia. Dan puncaknya adalah lahirnya keputusan pemerintah tidak diakuinya Ijazah Pesantren dan Madrasah Diniyah dalam sistim pemerintahan.
Kenyataan itu ternyata membuat kaum tradisionalis tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengamininya. Padahal sesunnguhnya itu semua adalah kiat politik orde baru dalam mengkebiri pendidikan agama Islam yang menjadi hak setiap warga negara dan membendung peran dan kesempatan agamawan dari kelompok tradisonlais dalam pemerintahan. Hal itu tampak mencolok sekali kalau kita kembali kepada sejarah pemerintahan orde baru yang memperketat peran ulama dalam berdakwah dan mengajar santrinya. Kenyataan itu ternyata secara tidak disengaja dapat melegitimasi pemerintahan dan sistimnya yang salah.
Sehingga secara tidak sadar keadaan seperti itu menuntut banyak Kiyai dan Pesantren untuk berpikir kedepan bagi para santrinya agar setelah lulus belajar mereka bisa menjadi pegawai negeri sipil seperti yang lainnya. Dari sinilah (tepatnya sejak tahun 80-an) terjadi revolusi besar-besaran di dalam pendidikan tradisonal yaitu banyaknya pesantren salaf merubah diri menjadi Pesantren (moderen dan sejenisnya) yang mengikuti tuntutan pemerintah demi selembar Ijazah (negeri)?
Kini dalam perkembangan terakhirnya justru banyak Pesantren yang telah merubah diri dari salaf menjadi (modern) justru ‘gagal’ meneruskan cita-cita pendirinya dan memenuhi harapan masyarakat sebagai lembaga pendidikan yang mampu mencetak santrinya sebagai ulama, Kiyai dan ustadz yang allamah dan mumpuni dalam kitab kuning dan ilmu agama. Akibat itu semua kini masyarakat melihat bahwa banyak Pesantren tidak ubahnya sebagai pendidikan formal biasa pada umumnya karena tidak lagi mampu mempertahankan peran dan posisi awalnya.
Maka kalau demikian faktanya apakah memenuhi kebutuhan santri untuk mendapatkan ijazah negeri agar menjadi pegawai negeri sipil itu lebih penting daripada memepertahankan kesalafan Pesantren yang eksis mengkader dan mencetak santri yang Allamah dan berahlakul karimah? Dan apakah kita akan rela wadah para ulama (NU) yang menjadi harapan masyrakat Indonesia nantinya dan sekarang sudah banyak dipegang oleh orang-orang yang tidak bisa dan kenal dengan kitab kuning yang menjadi magnet masyarakat? Dan ketika Pesantren salaf tidak lagi ada apakah Pesantren modern akan mampu menggantikan perannya? Dan yang pasti kini banyak Pesantren berpikir yang penting banyak santrinya daripada berpikir bagaimana santrinya.
Pesantren tradisional (salaf) memang telah terbukti dalam sejarah perjuangan kemerdekaan, keilmuan dan keagamaan sebagai lembaga tertua di Indonesia yang telah mampu dan berhasil membuktikan diri sebagai pusat pengkaderan ulama, pemimpin yang tangguh dan sebagai benteng aqidah ummat. Bahkan hampir semua Pesantren dan Kiyainya dalam sejarah pra Islam dan kemerdekaan Indonesia terlibat dalam merebut dan mengisi kemerdekaan. Bahkan tidak sedikit santri-santri Pesantren tempo dulu menjadi tokoh nasional yang terkemuka dan disegani karena perannya sebagai pahlawan, ilmuan dan pemimpin ummat yang ikhlas. Tapi semua kebesaran Pesantren salaf itu kini telah pudar, maka seharusnya kita tidak lagi harus ‘menghakimi’ orang lain sebagai Kiyai Kalender. Karena Kiyai karbitan dan Kiyai kalender itu sesungguhnya kini lahir dari Pesantren masa kini (baca: Pesantren dulu, sekarang dan nanti).
Pasca kemerdekaan Pesantren tradisional masih tetap mampu membuktikian peran dan posisinya sebagai lembaga keagamaan yang behasil mencetak tokoh-tokoh kaliber dunia sebut saja Syekh Rifai Kalisalak dengan Pesantrennya di Kalisalak, Syekh Soleh Darat dengan Pesantrennya di Darat Semarang keduanya telah mampu melahirkan ulama besar Jawa abad XVIII dan XIX seperti Kiyai Kholil Bangkalan, Kiyai Hasyim Asyari dengan ribuan santrinya yang allamah pula. Begitu juga Syekh Nuruddin Al Raniri di Aceh, Yusuf Al Makasari, Burhanuddin Ulakan dan lainnya dari ulama Aceh dan Sumatra juga Palembang semuanya telah mampu mencetak santrinya menjadi ulama besar yang hingga kini kita rasakan barokah ilmunya.
Dari jumlah Pesantren yang awalnya sangat terbatas jumlahnya maka setelah runtuhnya kekuatan Belanda yang sejak awal melarang pendirian dan pengembangan pendidikan keagamaan, jumlah Pesantren, ulama dan santri terus berkembang dengan tetap mempertahankan tradisi dan metode tradisionalnya sehingga keberhasilannya dalam mencetak ulama dan Kiayi yang allamah juga tetap dipertahankan. Hal seperti ini terus beralanjut hingga awal abad XX Masehi.
Keberhasilana kaum sarungan itu ternyata mampu mengundang kekhawatiran kaum nasionalis akan kejayaan dan kekuatan yang dimilikinya dalam merebut kemerdekaan, dan mengisi pembangunan Indonesia kedepan. Kekhawatiran itu sangat beralasan mengingat Pesantren sebagai model pendidikan tertua dan pertama di Indonesia dan diakui masyarakat keberhasilan peran alumninya, maka pantas kalau kemudian legitimasi itu harus dihilangkan. Karena dengan legitimasi itu kaum tradisionalis akan mudah untuk mendapat kepercayaan masyarakat untuk memimpin bangsa dan negara sehingga kesempatan kaum nasionalis untuk maju menjadi pemimpin akan tertutup. Kemungkinan kedua pengganjalan itu juga terjadi akibat keyakinan mereka bahwa hanya kaum nasionalislah yang paling berjasa merebut dan mengisi kemerdekaan sehingga hanya mereka yang memenuhi syarat dan berhak menjadi pemimpin dan pejabat negara dengan ijazah negerinya?
Dari kekhawatiran dan kesalahpahaman itu lahirlah ‘pertarungan’ antara kaum tradisonalis dan nasionalis yang berlanjut kepada pengganjalan dan perebutan hak dan kesempatan kerja dalam pemerintahan. Jelas tindakan seperti itu telah memojokan dan merugikan kaum tradisonalis yang bekerja dan belajar dengan ikhlas tanpa tujuan duniawi seperti jabatan, pencarian gelar dan Ijazah. Namun ketulusan usaha mereka itu justru membuka jalan lain yang bisa mengangkat kedudukan kaum tradionalis yang lebih tinggi dari jabatan dan kedudukan kaum nasionalis dihadapan rakyat yaitu sebagai Kiyai, ulama atau ustadz yang dikagumi dan disegani masyarakat. Dan posisi ini juga tidak bisa terbantahkan oleh jabatan dan kedudukan pemerintahan mereka. Keadaan ini juga telah melahirkan ketakutan baru kaum nasionalis dengan diperketatnya kegiatan keagamaan kuam sarungan.
Memang sepanjang sejarah pendidikan Indonesia terus dikuasi dan dikendalikan kaum nasionalis dengan kendaraannya yang tangguh dan selalu berganti-ganti merek mulai dari P dan K sampai Diknas dengan segala kekuatannya mereka berusaha memarjinalkan pendidikan tradisional (Pesantren salaf dan Madrasah) dalam sejarah pendidikan Indonesia. Dan puncaknya adalah lahirnya keputusan pemerintah tidak diakuinya Ijazah Pesantren dan Madrasah Diniyah dalam sistim pemerintahan.
Kenyataan itu ternyata membuat kaum tradisionalis tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengamininya. Padahal sesunnguhnya itu semua adalah kiat politik orde baru dalam mengkebiri pendidikan agama Islam yang menjadi hak setiap warga negara dan membendung peran dan kesempatan agamawan dari kelompok tradisonlais dalam pemerintahan. Hal itu tampak mencolok sekali kalau kita kembali kepada sejarah pemerintahan orde baru yang memperketat peran ulama dalam berdakwah dan mengajar santrinya. Kenyataan itu ternyata secara tidak disengaja dapat melegitimasi pemerintahan dan sistimnya yang salah.
Sehingga secara tidak sadar keadaan seperti itu menuntut banyak Kiyai dan Pesantren untuk berpikir kedepan bagi para santrinya agar setelah lulus belajar mereka bisa menjadi pegawai negeri sipil seperti yang lainnya. Dari sinilah (tepatnya sejak tahun 80-an) terjadi revolusi besar-besaran di dalam pendidikan tradisonal yaitu banyaknya pesantren salaf merubah diri menjadi Pesantren (moderen dan sejenisnya) yang mengikuti tuntutan pemerintah demi selembar Ijazah (negeri)?
Kini dalam perkembangan terakhirnya justru banyak Pesantren yang telah merubah diri dari salaf menjadi (modern) justru ‘gagal’ meneruskan cita-cita pendirinya dan memenuhi harapan masyarakat sebagai lembaga pendidikan yang mampu mencetak santrinya sebagai ulama, Kiyai dan ustadz yang allamah dan mumpuni dalam kitab kuning dan ilmu agama. Akibat itu semua kini masyarakat melihat bahwa banyak Pesantren tidak ubahnya sebagai pendidikan formal biasa pada umumnya karena tidak lagi mampu mempertahankan peran dan posisi awalnya.
Maka kalau demikian faktanya apakah memenuhi kebutuhan santri untuk mendapatkan ijazah negeri agar menjadi pegawai negeri sipil itu lebih penting daripada memepertahankan kesalafan Pesantren yang eksis mengkader dan mencetak santri yang Allamah dan berahlakul karimah? Dan apakah kita akan rela wadah para ulama (NU) yang menjadi harapan masyrakat Indonesia nantinya dan sekarang sudah banyak dipegang oleh orang-orang yang tidak bisa dan kenal dengan kitab kuning yang menjadi magnet masyarakat? Dan ketika Pesantren salaf tidak lagi ada apakah Pesantren modern akan mampu menggantikan perannya? Dan yang pasti kini banyak Pesantren berpikir yang penting banyak santrinya daripada berpikir bagaimana santrinya.